GANGGUAN REPRODUKSI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberhasilan
reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun
kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat, hingga saat ini sering dijumpai
adanya kasus gangguan reproduksi yang ditandai dengan rendahnya fertilitas
induk, akibatnya berupa penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet,
sehingga mempengaruhi penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan daging
secara nasional.
Gangguan
reproduksi yang umum terjadi pada sapi diantaranya adalah retensio
sekundinarium (ari-ari tidak keluar), distokia (kesulitan melahirkan), abortus
(keguguran), dan kelahiran prematur/sebelum waktunya.
Gangguan
reproduksi tersebut menyebabkan kerugian ekonomi sangat besar bagi petani yang
berdampak terhadap penurunan pendapatan peternak; umumnya disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah penyakit reproduksi, buruknya sistem
pemeliharaan, tingkat kegagalan kebuntingan dan masih adanya pengulangan
inseminasi, yang kemungkinan salah satu penyebabnya adalah adanya gangguan
reproduksi.
Penanganan
gangguan reproduksi ditingkat pelaku usaha peternakan masih kurang, bahkan
beberapa peternak terpaksa menjual sapinya dengan harga yang murah karena ketidaktahuan
cara menangani. Perlu pemasyarakatan teknologi inovatif untuk penanggulangan
gangguan reproduksi sapi potong, khususnya pada sapi induk usaha perbibitan
rakyat dengan harapan sapi induknya produktif sehingga memacu semangat untuk
berusaha.
B.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui berbagai gangguan
reproduksi pada sapi potong betina
2.
mengetahui informasi tentang usaha
penanggulangan dan cara menangani gangguan reproduksi pada induk sapi potong
secara mandiri dengan peralatan yang sederhana.
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN
A.
Penyebab Gangguan Reproduksi
Gangguan
reproduksi pada sapi potong disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
a. Cacat anatomi saluran reproduksi (defek
kongenital).
b. Gangguan fungsional.
c. Kesalahaan manajemen.
d. Infeksi organ reproduksi.
B.
Macam Gangguan Reproduksi dan
Penanggulangannya
a. Cacat anatomi saluran reproduksi
Abnormalitas
yang berupa cacat anatomi saluran reproduksi ini dibedakan menjadi dua yaitu
cacat kongenital (bawaan) dan cacat perolehan.
1. Cacat Kongenital
Gangguan
karena cacat kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada ovarium (indung
telur) dan pada saluran reproduksinya. Gangguan pada ovarium meliputi:
· Hipoplasia ovaria (indung telur
mengecil)
Hipoplasia
ovaria merupakan suatu keadaan indung telur tidak berkembang karena keturunan.
Hal ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila terjadi pada
salah satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak pernah
birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril
(majir). Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan
permukaan berkerut.
· Agenesis ovaria (indung telur tidak
terbentuk).
Agenesis
merupakan suatu keadaan sapi tidak mempunyai indung telur karena keturunan.
Dapat terjadi secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun bilateral
(kedua indung telur). Cacat turunan juga dapat terjadi pada saluran alat
reproduksi, diantaranya : Freemartin (abnormalitas kembar jantan dan betina)
dan atresia vulva (pengecilan vulva). Kelahiran kembar pedet jantan dan betina
pada umumnya (lebih dari 92%) mengalami abnormalitas yang disebut dengan
freemartin. Abnormalitas ini terjadi pada fase organogenesis (pembentukan
organ dari embrio di dalam kandungan), kemungkinan hal ini disebabkan
oleh adanya migrasi hormon jantan melalui anastomosis vascular (hubungan
pembuluh darah) ke pedet betina dan karena adanya intersexuality
(kelainan kromosom). Organ betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria
hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi
betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva, pinggul
ramping dengan hymen persisten. Sedangkan Atresia Vulva merupakan suatu kondisi
pada sapi induk dengan vulva kecil dan ini membawa resiko pada kelahiran
sehingga sangat memungkinkan terjadi distokia (kesulitan melahirkan).
Penanganannya dengan pemilihan sapi induk dengan skor kondisi tubuh (SKT) yang
baik (tidak terlalu kurus atau gemuk serta manajemen pakan yang baik (Gambar
1).
2.
Cacat perolehan
Cacat
perolehan dapat terjadi pada indung telur maupun pada alat reproduksinya. Cacat
perolehan yang terjadi pada indung telur, diantaranya: Ovarian Hemorrhagie
(perdarahan pada indung telur) dan Oophoritis (radang pada indung telur).
Perdarahan
indung telur biasanya terjadi karena efek sekunder dari manipulasi
traumatik pada indung telur. Bekuan darah yang terjadi dapat menimbulkan adhesi
(perlekatan) antara indung telut dan bursa ovaria ( Ovaro Bursal Adhesions
/OBA). OBA dapat terjadi secara unilateral dan bilateral. Gejalanya sapi
mengalami kawin berulang. Sedangkan Oophoritis merupakan keradangan pada indung
telur yang disebabkan oleh manipulasi yang traumatik/ pengaruh infeksi
dari tempat yang lain misalnya infeksi pada oviduk (saluran telur) atau
infeksi uterus (rahim). Gejala yang terjadi adalah sapi anestrus.
Gambar
1. Induk sapi dengan SKT yang baik
Cacat
perolehan pada saluran reproduksi, diantaranya: Salphingitis, trauma akibat
kelahiran dan tumor. Salphingitis merupakan radang pada oviduk. Peradangan ini
biasanya merupakan proses ikutan dari peradangan pada uterus dan indung telur.
Cacat perolehan ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Sedangkan
trauma akibat kelahiran dapat terjadi pada kejadian distokia dengan penanganan
yang tidak benar (ditarik paksa), menimbulkan trauma/ kerusakan pada saluran
kelahiran dan dapat berakibat sapi menjadi steril/ majir. Tumor ovarium yang
umum terjadi adalah tumor sel granulosa. Pada tahap awal sel- sel tumor
mensekresikan estrogen sehingga timbul birahi terus menerus (nympomania) namun
akhirnya menjadi anestrus. P enanganan cacat perolehan disesuaikan dengan
penyebab primernya. Jika penyebab primernya adalah infeksi maka ditangani
dengan pemberian antibiotika. Perlu hindari trauma fisik penanganan reproduksi
yang tidak tepat.
b. Gangguan fungsional
Salah
satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan fungsional
(organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional
ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Berikut adalah contoh kasus
gangguan fungsional, diantaranya :
1. Sista ovarium (ovaria, folikuler dan luteal)
Status ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau
lebih struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak.
Penyebab terjadinya sista ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin
(rendahnya hormon LH). Sedangkan faktor predisposisinya adalah herediter,
problem sosial dan diet protein. Adanya sista tersebut menjadikan folikel de
graf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi
(melebur) atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya
degenerasi lapisan sel granulosa dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibatnya
sapi –sapi menjadi anestrus atau malah menjadi nymphomania (kawin terus).
Penanganan yang dilakukan yaitu dengan:
· Sista ovaria : prostaglandin
(jika hewan tidak bunting)
· Sista folikel : Suntik HCG/LH
(Preynye, Nymfalon) secara intramuskuler sebanyak 200 IU.
· Sista luteal : PGH 7,5 mg secara
intra uterina atau 2,5 ml secara intramuskuler. Selain itu juga dapat diterapi
dengan
· PRID/CIDR intra uterina (12 hari).
Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan birahi.
2. Subestrus dan birahi tenang
Subestrus
merupakan suatu keadaan dimana gejala birahi yang berlangsung singkat/ pendek (hanya
3- 4 jam) dan disertai ovulasi (pelepasan telur). Birahi tenang merupakan suatu
keadaan sapi dengan aktifitas ovarium dan adanya ovulasi namun tidak disertai
dengan gejala estrus yang jelas. Penyebab kejadian ini diantaranya: rendahnya
estrogen (karena defisiensi β karotin, P, Co, Kobalt dan berat badan yang
rendah ). Apabila terdapat corpus luteum maka dapat diterapi dengan PGF2α
(prostaglandin) dan diikuti dengan pemberian GnRH (Gonadotropin Releasing
Hormon).
3. Anestrus
Anestrus
merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus
dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat
disebabkan oleh tidak adanya aktivitas ovaria atau akibat aktifitas
ovaria yang tidak teramati. Keadaan anestrus dapat diklasifikasikan berdasarkan
penyebabnya yaitu :
·
True anestrus (anestrus normal)
Abnormalitas
ini ditandai dengan tidak adanya aktivitas siklik dari ovaria, penyebabnya
karena tidak cukupnya produksi gonadotropin atau karena ovaria tidak respon
terhadap hormon gonadotropin. Secara perrektal pada sapi dara akan teraba
kecil, rata dan halus, sedangkan kalau pada sapi tua ovaria akan teraba
irreguler (tidak teratur) karena adanya korpus luteum yang regresi (melebur).
·
Anestrus karena gangguan hormon
Biasanya
terjadi karena tingginya kadar progesteron (hormon kebuntingan) dalam darah
atau akibat kekurangan hormon gonadotropin.
·
Anestrus karena kekurangan
nutrisi
Kekurangan
nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan hormon gonadotropin,
terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif.
·
Anestrus karena genetik
Anestrus
karena faktor genetik yang sering terjadi adalah hipoplasia ovarium dan
agenesis ovaria. Penanganan dengan perbaikan pakan sehingga skor
kondisi tubuh (SKT) meningkat, merangsang aktivitas ovaria dengan cara
pemberian (eCG 3000-4500 IU; GnRH 0,5 mg; PRID/ CIDR dan estrogen).
4. Ovulasi yang tertunda
Ovulasi
tertunda (delayed ovulation) merupakan suatu kondisi ovulasi yang tertunda/ tidak
tepat waktu. Hal ini dapat menyebabkan perkawinan/ IB tidak tepat waktu,
sehingga fertilisasi (pembuahan) tidak terjadi dan akhirnya gagal untuk
bunting. Penyebab utama ovulasi tertunda adalah rendahnya kadar LH dalam darah.
Gejala yang nampak pada kasus ini adalah adanya kawin berulang (repeat
breeding). Terapi yang dapat dilakukan diantaranya dengan injeksi GnRH (100-250
µg gonadorelin) saat IB.
c.
Kesalahan Manajemen
Faktor
manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika tubuh
kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi
fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya
produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi
hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah
(karena tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi).
Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan
sel, perkembangan embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa
pubertas sampai beranak pertama maka kemungkinannya adalah : birahi tenang,
defek ovulatory (kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio/ fetus.
Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi diantaranya: protein,
vitamin A, mineral/ vitamin (P, Kopper,Kobalt, Manganese, Iodine, Selenium).
Selain nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum
yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat menyebabkan
abortus (keguguran), diantaranya: racun daun cemara, nitrat,
ergotamin, napthalen, khlor dan arsenik.
d.
Infeksi Organ Reproduksi
1. Infeksi non spesifik
Yang
termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya:
·
Endometritis (radang uterus)
Merupakan
peradangan pada endometrium (dinding rahim). Uterus (rahim) sapi biasanya
terkontaminasi dengan berbagai mikroorganisme (bakteri) selama masa puerpurium
(masa nifas). Gejalanya meliputi : leleran berwarna jernih keputihan sampai
purulen (kekuningan) yang berlebihan, uterus mengalami pembesaran (peningkatan
ukuran). Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan
dalam uterusnya tertimbun cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilitas
(pembuahan) adalah dalam jangka pendek, menurunkan kesuburan, Calving
Interval dan S/C naik, sedangkan jangka panjang menyebabkan sterilitas
(kemajiran) karena terjadi perubahan saluran reproduksi. Faktor
predisposisi (pendukung) terjadinya endometritis adalah
distokia, retensi plasenta, musim, kelahiran kembar, infeksi bakteri
serta penyakit metabolit. Penanganannya dengan injeksi antibiotik, hormon
(PGF2α) dan irigasi/ pemasukan antiseptik intra uterina.
·
Piometra (radang uterus bernanah)
Merupakan
pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen uterus (rongga rahim) dan
adanya korpus luteum persisten pada salah satu ovariumnya. Korpus luteum
mengalami persistensi mungkin karena adanya isi uterus abnormal, menyebabkan
hambatan pelepasan prostaglandin dari endometrium atau menahan prostaglandin
dalam lumen uterus. Gejala yang timbul meliputi : leleran vagina purulen
(kekuningan), sapi anestrus. Penanganan medisnya yaitu dengan kombinasi
pemberian antibiotik dan hormon prostaglandin.
·
Vaginitis
Merupakan
peradangan pada vagina, biasanya sebagai penjalaran dari metritis dan
pneumovagina atau dapat disebabkan oleh tindakan penanganan masalah reproduksi
yang tidak tepat seperti tarikan paksa/ fetotomi. Penyebab vaginitis
diantaranya virus IBR-IPV dan penyakit – penyakit kelamin. Tanda-tanda
vaginitis bervariasi, mulai dari leleran lendir keruh dan hiperemia mukosa
(mukosa kemerahan) vagina sampai nekrosis mukosa (kematian jaringan mukosa)
vagina disertai pengejanan terus –menerus dan septikemia. Penanganan kasus
vaginitis ini ditujukan untuk menghilangkan iritasi, menghentikan pengejanan
dengan anastesi epidural, koreksi operatif dari defek vulva dan urovagina serta
pengobatan antibiotik sistemik.
2. Infeksi Spesifik
Infeksi
yang bersifat spesifik,diantaranya :
a). Bakterial
·
Brucellosis
Penyebab
brucellosis pada sapi adalah Brucella abortus sedangkan pada kambing/ domba
adalah Brucella melitensis. Bersifat zoonosis dan menyebabkan demam undulan
pada manusia bila mengkonsumsi susu yang tercemar B.abortus. Brucellosis dapat
menular melalui eksudat (lendir) alat kelamin, selaput lendir mata, makanan dan
air yang tercemar ataupun melalui IB dari semen yang terinfeksi. Gejala yang
nampak biasanya sapi bunting mengalami abortus pada 6-9 bulan kebuntingan;
selaput fetus yang diaborsikan terlihat oedema, hemorhagi, nekrotik dan
adanya eksudat kental serta adanya retensi plasenta, metritis dan keluar
kotoran dari vagina. Penanggulangan dan pencegahan brucellosis diataranya
dengan :
¾ Sanitasi
dan kebersihan harus terpelihara
¾ Vaksinasi
strain 19 usia 3 – 7 bulan
¾ Pemberian
antiseptik dan antibiotika pada hewan yang sakit
¾ Penyingkiran
r eaktor (sapi terinfeksi sebagai sumber infeksi)
¾ Sapi
yang terinfeksi diisolasi/ dijual/ dipotong.
¾ Fetus
dan plasenta yang digugurkan dibakar kemudian dikubur.
¾ Hewan
baru dikarantina, diperiksa dan diuji.
Gambar
2. Sanitasi kandang
·
Leptospirosis
Penyebabnya yaitu Leptospira pomona,
Leptospira gripothyposa, Leptospira conicola, Leptospira hardjo. Cara
penularannya melalui kulit terbuka/ selaput lendir (mulut, pharynx, hidung,
mata) karena kontak dengan makanan dan minuman yang tercemar. Gejala yang
nampak diantaranya : anoreksia (tidak mau makan), produksi susu turun, abortus
pada pertengahan kebuntingan dan biasanya terjadi retensi plasenta, metritis
dan infertilitas.
Gambar
3. Vaksinasi brucellosis pada sapi
Pengendalian kejadian leptospirosis meliputi sanitasi yang
baik, isolasi hewan yang sakit serta hindari pakan dan minuman dari pencemaran,
vaksinasi dengan serotipe (jenis) leptospira yang ada di daerah tersebut.
Pengobatan dengan antibiotika dosis tinggi, 3 juta IU penicillin dan 5 gr
streptomycin (2x sehari).
·
Vibriosis
Penyebabnya
adalah Vibrio fetus veneralis atau Campylobacter foetus veneralis. Dapat
menular melalui perkawinan dengan pejantan tercemar. Gejala yang timbul
diataranya : endometritis dan kadang – kadang salpingitis dengan leleran
mukopurulen, siklus estrus diperpanjang ± 32 hari, kematian embrio, abortus
pada trisemester 2 kebuntingan dan terjadinya infertilitas karena kematian
embrio dini. Pengendaliannya yaitu dengan cara IB dengan semen sehat,
istirahat kelamin selama 3 bulan pada hewan yang terinfeksi, vaksinasi dengan
bakterin 30-90 hari sebelum dikawinkan atau setiap tahun. Pengobatan dengan
infusi (pemasukan) antibiotika spektrum luas secara intra uterin, injeksi
pejantan dengan dihydrostreptomisin dosis 22 mg/kg BB secara subkutan (di bawah
kulit).
·
Tuberkulosis
Penyebabnya
adalah Mycobacterium bovis. Dapat menular melalui ekskresi, sputum (riak),
feses, susu, urin, semen, traktus genitalis (saluran kelamin), pernafasan,
ingesti dan perkawinan dengan hewan yang sakit. Gejala yang nampak diataranya :
abortus, retensi plasenta, lesi uterus bilateral, salpingitis dan adhesi
(perlekatan) antara uterus. Penanganan dan pencegahan diantaranya dengan
sanitasi kandang dan lingkungan, pengobatan dengan antibiotika, isolasi hewan
yang terinfeksi dan vaksinasi.
·
Viral
¾ IBR- IPV, Penyebabnya adalah virus
herpes dengan tingkat kematian prenatal dan neonatal cukup tinggi. Penularan
dapat melalui air, pakan, kontak langsung maupun tidak langsung. Gejala yang
nampak dalam berbagai bentuk, yaitu :
¾ Respiratorik bagian atas (demam,
anorexia, depresi, leleran hidung, nodula/ bungkul-bungkul pada hidung,
pharynx, trachea, batuk, penurunan produksi susu).
¾ Konjungtival (hiperlakrimasi dengan
eksudat mukopurulen, konjungtiva merah dan bengkak, adanya pustula pada
konjungtiva dan ulcer nekrotik.
¾ Digestif neonatal ( septikemia, lesi
pada mulut, larynx dan pharynx).
¾ Meningoencepalitis (kelesuan,
inkoordinasi, tremor, mati dalam 3-4 hari).
¾ Vulvovagina (septikemia,
pustula dan ulcer pada vagina dan vulva disertai leleran purulen).
¾ Preputial (pustula dan ulcer pada
penis dan preputium).
¾ Abortus dan prenatal (abortus pada
trisemester kebuntingan).
¾ Intrauterina (endometritis nekrotik,
uterus tegang dan edematus). Pengendalian dan pengobatan: Pemberian antibiotik,
karantina hewan dan istirahat kelamin selama 3-4 minggu, vaksinasi kombinasi
(IBR, IPV dan BVD-MD).
·
BVD-MD
Virus
BVD-MD menyerang sapi dengan gejala: demam tinggi, depresi, anorexia, diare,
lesi pada mukosa mulut dan sistem pencernaan, abortus pada 2-9 bulan
kebuntingan serta terjadinya kawin berulang. Pengobatan dengan pemberian
antibiotika, pencegahan dengan vaksinasi umur 9-10 bulan. Sanitasi dan
desinfeksi kandang dan lingkungan penting untuk diperhatikan.
·
EBA (Epizootik Bovine Abortion)
Penyebabnya
Chlamydia atau Megawanella. Gejala yang nampak :abortus pada 4-9 bulan
kebuntingan, stillbirth (lahir kemudian mati), jika fetus lahir maka lemah,
retensi plasenta. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotika. Sedangkan pengendaliannya dapat dilakukan dengan isolasi/
karantina hewan yang sakit, vaksinasi, sanitasi dan desinfeksi kandang.
b) Protozoa
·
Trikomoniasis
Penyebabnya
Trichomonas fetus, merupakan penyakit kelamin menular pada sapi yang ditandai
dengan penurunan kesuburan (S/C tinggi), abortus dini (4 bulan
kebuntingan/trisemester pertama kebuntingan). Penularan dengan kawin alam
maupun dengan IB. Pengendaliannya dengan:
¾ IB
dengan pejantan sehat
¾ Istirahat
kelamin
¾ Pemberian
antibiotik intra uterin pada betina terinfeksi.
¾ Pemberian
estrogen/ PGF2α
¾ Pejantan
kronis diberi bovoflavin/ metronidazole atau dieliminasi.
·
Toxoplasmosis
Penyebabnya
Toxoplasma gondii, bersifat zoonosis sehingga dapat menyerang manusia. Gejala
yang nampak diataranya: demam, gangguan nafas dan syaraf, abortus, prematur
maupun lahir lemah. Penularan melalui pakan/ minum yang tercemar dengan
ookista. Pengobatan dengan antibiotika, kombinasi antara preparat sulfa
(sulfadiazin) dan pyrimethamine. Pencegahan dengan menjaga sanitasi dan
desinfeksi kandang serta lingkungannya.
c). Jamur
Penyebab
utama abortus adalah Aspergillus fumigatus. Selain itu juga bisa disebabkan
oleh Mucorales. Terdapat dua jalur utama penularan,
1)
Melalui inhalasi, masuk paru dan mengikuti aliran darah sampai ke plasenta dan
menyebabkan abortus.
2)
Melalui ingesti, menyebabkan radang pada rumen, mengikuti aliran darah menuju
plasenta dan menimbulkan keradangan sehingga terjadilah abortus. Gejala
yang nampak diantaranya : abortus pada 5-7 bulan kebuntingan, fetus mengalami
autolisis/ lahir lemah, membran fetus (bengkak, nekrotik, lesi plasentoma,
kotiledon dan karuncula bengkak, oedem dan nekrotik). Penanganan yang
dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan preparat antijamur dan perbaikan
manajemen secara keseluruhan meliputi perbaikan pakan dan manajemen kesehatan
yang baik meliputi sapi, kandang dan lingkungannya. Selain gangguan reproduksi
yang disebabkan oleh keempat faktor tersebut, berikut kondisi patologis yang
berhubungan dengan masalah reproduksi:
d)
Prolaps Vagina Cervik (dobolen)
Merupakan
pembalikan uterus, vagina dan servik, menggantung keluar melalui vulva.
Penyebabnya adalah hewan selalu dikandangkan, tingginya estrogen, tekanan intra
abdominal saat berbaring maupun genetik. Pada keadaan prolaps partial, organ
masuk ke saluran reproduksi seperti semula saat berdiri namun bila terjadi
secara total maka organ akan tetap menggantung keluar meskipun dalam keadaan
berdiri (Gambar 4). Penanggulangan secara teknis yaitu dengan ditempatkan di
kandang dengan kemiringan 5 –15 cm lebih tinggi di bagian belakang. Secara
medis dapat dilakukan dengan reposisi ke posisi semula, irigasi
(pemasukan dilanjutkan dengan pengeluaran) antiseptik (povidon iodine) dan
injeksi dengan antibiotika spektrum luas (oxytetracycline).
Gambar
4. Prolapsus vagina induk sapi
e) Distokia
Merupakan
suatu kondisi stadium pertama kelahiran (dilatasi cervik) dan kedua
(pengeluaran fetus) lebih lama dan menjadi sulit dan tidak mungkin lagi bagi
induk untuk mengeluarkan fetus. Sebab –sebab distokia diantaranya herediter,
gizi, tatalaksana, infeksi, traumatik dan berbagai sebab lain.
¾
Gambar
5. Berbagai Macam Distokia (Toelihere, 1987)
Penanganan yang dapat dilakukan
diantaranya:
¾ Mutasi,
mengembalikan presentasi, posisi dan postur fetus agar normal dengan cara di
dorong (ekspulsi), diputar (rotasi) dan ditarik (retraksi).
¾ Penarikan
paksa, apabila uterus lemah dan janin tidak ikut menstimulir perejanan.
¾ Pemotongan
janin (Fetotomi), apabila presentasi, posisi dan postur janin yang abnormal
tidak bisa diatasi dengan mutasi/ penarikan paksa dan keselamatan induk yang
diutamakan.
¾ Operasi
Secar ( Sectio Caesaria), merupakan alternatif terakhir apabila semua cara
tidak berhasil. Operasi ini dilakukan dengan pembedahan perut (laparotomy)
dengan alat dan kondisi yang steril.
f) Retensi Plasenta
Merupakan
suatu kondisi selaput fetus menetap lebih lama dari 8 –12 jam di dalam uterus
setelah kelahiran. Pada dasarnya retensi plasenta adalah kegagalan pelepasan
plasenta anak (vili kotiledon) dan plasenta induk (krypta caruncula).
Penyebabnya adalah infeksi (yang menyebabkan uterus lemah untuk berkontraksi),
pakan (kekurangan karotin, vitamin A) dan kurangnya exercise (sapi
diumbar) sehingga otot uterus tidak kuat untuk bekontraksi. vitamin A) dan
kurangnya exercise (sapi diumbar) sehingga otot uterus tidak kuat untuk
bekontraksi.
Gambar
6. Penanganan distokia dengan tarik paksa
Penanganan
yang dapat dilakukan dengan pelepasan selaput fetus secara manual, pemberian
preparat antibiotika spektrum luas (oxytetracyclin, Chlortetracyclin atau
Tetracyclin). Pengobatan secara tradisional dapat dilakukan dengan pemberian
daun waru dan bambu dengan cara diberikan langsung lewat pakan (Affandhy,
2001).
Gambar
7. Retensio plasenta pada sapi induk
g) Torsi Uterus (Kandung peranakan melintir)
Merupakan
perputaran uterus pada porosnya, biasanya disebabkan oleh : gerakan sapi yang
mendadak saat berbaring/ berdiri, kekurangan cairan fetus, terjatuh dan selalu
dikandangkan, tonus uterus (kekuatan rahim) menurun, gerakan fetus yang
berlebihan dan karena struktur anatomi (sebagai faktor predisposisi/ pendukung).
Gejala yang nampak adalah hewan terlihat tidak tenang, menendang-nendang perut,
mengejan, pulsus dan frekuensi nafas meningkat, terjadi obstruksi suplai darah
ke uterus yang berujung pada kematian fetus. Penanganan teknis yang bisa
dilakukan diantaranya dengan penggulingan dengan atau tanpa fiksasi secara
cepat ke arah yang berlawanan dengan arah torsi atau dengan operasi
seksio sesaria.
h) Maserasi Fetus (janin membubur)
Merupakan
suatu kondisi fetus terendam sekian lama dalam cairan amnion dan adanya infeksi
bakteri maka tubuh fetus menjadi hancur seperti bubur dan keluar lewat vulva
dan yang tertinggal di dalam uterus hanya tulang – tulang fetus. Penyebab
utamanya adalah bakteri Trichomonas fetus dan juga dapat disebabkan oleh jamur.
Gejala yang timbul diantaranya : leleran nanah dari vulva yang berbau busuk,
hewan selalu mengejan, suhu tubuh naik (kejadian akut), nafas frekuen
(terengah-engah), anorexia, penurunan produksi susu dan secara perrektal
teraba adanya tulang, cairan dan penebalan uterus. Penanganan yang dapat
dilakukan dengan mengeluarkan tulang fetus (sulit dan mahal), pengeluaran nanah
dengan hormon PGF2α/ estrogen atau dengan pertimbangan ekonomis hewan dijual/
dipotong.
i) Mummifikasi fetus (janin mengeras)
Merupakan
suatu kondisi fetus dalam uterus mati tanpa disertai pencemaran mikroorganisme,
terjadi penyerapan oleh uterus sehingga fetus menjadi kering dan keras.
Mummifikasi fetus dapat disebabkan oleh pelilitan tali pusat, penyempitan tali
pusat, torsi uteri maupun karena kelainan genetik. Gejala yang dapat
diidentifikasi adalah adanya fetus yang mengeras/ membatu jika diraba secara
perrektal, sapi anestrus, mengejan terus – menerus, sulit defekasi dan
anorexia. Terapi yang dapat dilakukan yaitu dengan injeksi stilbestrol secara
intramuscular dengan dosis 50-80 mg atau dengan injeksi PGF2α.
j) Hernia Uterina
Merupakan
suatu keadaan pada induk sapi yang sedang bunting, dengan uterus dan atau
bersama fetus masuk ke dalam rongga hernia. Penyebabnya adalah sobeknya lapisan
peritoneum dan otot abdomen karena trauma, atau bisa juga disebabkan karena
fetus besar/ kembar. Gejala yang tampak berupa pembengkakan di bawah perut,
semakin lama semakin besar dan apabila dipalpasi teraba ada fetus/ gerakan
fetus. Penanganan yang bisa dilakukan:
¾ Apabila kelahiran masih lama maka
bisa diatasi dengan penahanan hernia dengan menggunakan papan dan kain yang
diikatkan pada punggung sapi.
¾ Apabila sudah mendekati kelahiran,
cara yang terbaik adalah dengan operasi pembedahan perut (laparotomi).
¾
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
isi dan pembahasan dari beberapa sumber, maka kami menyimpulkan ahwa:
1.
Gangguan reproduksi pada sapi potong
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah cacat anatomi saluran
reproduksi (defek kongenital), gangguan fungsional, kesalahaan manajemen dan
infeksi organ reproduksi.
2.
Abnormalitas yang berupa cacat
anatomi saluran reproduksi ini dibedakan menjadi dua yaitu cacat kongenital
(bawaan) dan cacat perolehan. Cacat kongenital seperti Hipoplasia ovaria
(indung telur mengecil), Agenesis ovaria (indung telur tidak terbentuk),
sedangkan Cacat perolehan yang terjadi pada indung telur, diantaranya: Ovarian
Hemorrhagie (perdarahan pada indung telur) dan Oophoritis (radang pada indung
telur).
3.
Gangguan fungsional (organ
reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini
disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Contohnya Sista ovarium (ovaria,
folikuler dan luteal), Subestrus dan birahi tenang, anestrus, dan Ovulasi yang
tertunda
4.
Faktor manajemen sangat
erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi
terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi,
efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktifitasnya rendah.
5.
Infeksi organ reproduksi
terdiri dari infeksi non spesifik dan infeksi spesifik. Yang
termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya: Endometritis (radang uterus),
Piometra (radang uterus bernanah), dan Vaginitis. Sedangkan yang termasuk
infeksi spesifik adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur
Posted by Rabu, Maret 19, 2014 and have
, Published at