Rabu, 19 Maret 2014

Gangguan Reproduksi Pada Hewan



GANGGUAN REPRODUKSI


BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat, hingga saat ini sering dijumpai adanya kasus gangguan reproduksi yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk, akibatnya berupa penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet, sehingga mempengaruhi penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan daging secara nasional.
Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi diantaranya adalah retensio sekundinarium (ari-ari tidak keluar), distokia (kesulitan melahirkan), abortus (keguguran), dan kelahiran prematur/sebelum waktunya.
Gangguan reproduksi tersebut menyebabkan kerugian ekonomi sangat besar bagi petani yang berdampak terhadap penurunan pendapatan peternak; umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah penyakit reproduksi, buruknya sistem pemeliharaan, tingkat kegagalan kebuntingan dan masih adanya pengulangan inseminasi, yang kemungkinan salah satu penyebabnya adalah adanya gangguan reproduksi.
Penanganan gangguan reproduksi ditingkat pelaku usaha peternakan masih kurang, bahkan beberapa peternak terpaksa menjual sapinya dengan harga yang murah karena ketidaktahuan cara menangani. Perlu pemasyarakatan teknologi inovatif untuk penanggulangan gangguan reproduksi sapi potong, khususnya pada sapi induk usaha perbibitan rakyat dengan harapan sapi induknya produktif sehingga memacu semangat untuk berusaha.

B.      Tujuan dan Manfaat
Tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1.      Mengetahui berbagai gangguan reproduksi pada sapi potong betina
2.      mengetahui informasi tentang usaha penanggulangan dan cara menangani gangguan reproduksi pada induk sapi potong secara mandiri dengan peralatan yang sederhana. 

  

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN


A.    Penyebab Gangguan Reproduksi 

 Gangguan reproduksi pada sapi potong disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 
a.  Cacat anatomi saluran reproduksi (defek kongenital).
b. Gangguan fungsional.
c.  Kesalahaan manajemen.  
d. Infeksi organ reproduksi.

B.     Macam Gangguan Reproduksi dan Penanggulangannya 

a.  Cacat anatomi saluran reproduksi
Abnormalitas yang berupa cacat anatomi saluran reproduksi ini dibedakan menjadi dua yaitu cacat kongenital (bawaan) dan cacat perolehan.
1. Cacat Kongenital
Gangguan karena cacat kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada ovarium (indung telur) dan pada saluran  reproduksinya. Gangguan pada ovarium meliputi:
·         Hipoplasia ovaria (indung telur mengecil)
Hipoplasia ovaria merupakan suatu keadaan indung telur tidak berkembang karena keturunan. Hal ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila terjadi pada salah satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak pernah birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril (majir). Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan berkerut.

·         Agenesis ovaria (indung telur tidak terbentuk).
Agenesis merupakan suatu keadaan sapi tidak mempunyai indung telur karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun bilateral (kedua indung telur). Cacat turunan juga dapat terjadi pada saluran alat reproduksi, diantaranya : Freemartin (abnormalitas kembar jantan dan betina) dan atresia vulva (pengecilan vulva). Kelahiran kembar pedet jantan dan betina pada umumnya (lebih dari 92%) mengalami abnormalitas yang disebut dengan freemartin. Abnormalitas ini terjadi pada fase organogenesis (pembentukan  organ dari embrio di dalam kandungan), kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya migrasi hormon jantan melalui anastomosis vascular (hubungan pembuluh darah) ke pedet betina dan karena adanya intersexuality  (kelainan kromosom). Organ betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva, pinggul ramping dengan hymen persisten. Sedangkan Atresia Vulva merupakan suatu kondisi pada sapi induk dengan vulva kecil dan ini membawa resiko pada kelahiran sehingga sangat memungkinkan terjadi distokia (kesulitan melahirkan). Penanganannya dengan pemilihan sapi induk dengan skor kondisi tubuh (SKT) yang baik (tidak terlalu kurus atau gemuk serta manajemen pakan yang baik (Gambar 1).

2.  Cacat perolehan
Cacat perolehan dapat terjadi pada indung telur maupun pada alat reproduksinya. Cacat perolehan yang terjadi pada indung telur, diantaranya: Ovarian Hemorrhagie (perdarahan pada indung telur) dan Oophoritis (radang pada indung telur).
Perdarahan indung telur biasanya terjadi karena efek sekunder dari manipulasi  traumatik pada indung telur. Bekuan darah yang terjadi dapat menimbulkan adhesi (perlekatan) antara indung telut dan bursa ovaria ( Ovaro Bursal Adhesions /OBA). OBA dapat terjadi secara unilateral dan bilateral. Gejalanya sapi mengalami kawin berulang. Sedangkan Oophoritis merupakan keradangan pada indung telur yang disebabkan oleh  manipulasi yang traumatik/ pengaruh infeksi dari tempat yang lain misalnya infeksi pada  oviduk (saluran telur) atau infeksi uterus (rahim). Gejala yang terjadi adalah sapi anestrus. 
Gambar 1. Induk sapi dengan SKT yang baik
Cacat perolehan pada saluran reproduksi, diantaranya: Salphingitis, trauma akibat kelahiran dan tumor. Salphingitis merupakan radang pada oviduk. Peradangan ini biasanya merupakan proses ikutan dari peradangan pada uterus dan indung telur. Cacat perolehan ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Sedangkan trauma akibat kelahiran dapat terjadi pada kejadian distokia dengan penanganan yang tidak benar (ditarik paksa), menimbulkan trauma/ kerusakan pada saluran kelahiran dan dapat berakibat sapi menjadi steril/ majir. Tumor ovarium yang umum terjadi adalah tumor sel granulosa. Pada tahap awal sel- sel tumor mensekresikan estrogen sehingga timbul birahi terus menerus (nympomania) namun akhirnya menjadi anestrus. P enanganan cacat perolehan disesuaikan dengan penyebab primernya. Jika penyebab primernya adalah infeksi maka ditangani dengan pemberian antibiotika. Perlu hindari trauma fisik penanganan reproduksi yang tidak tepat.

b. Gangguan fungsional
Salah satu penyebab  gangguan reproduksi adalah adanya gangguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Berikut adalah contoh kasus gangguan fungsional, diantaranya :
1.      Sista ovarium (ovaria, folikuler dan luteal)
Status ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak. Penyebab terjadinya sista ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH). Sedangkan faktor predisposisinya adalah herediter, problem sosial dan diet protein. Adanya sista tersebut menjadikan folikel de graf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulosa dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibatnya sapi –sapi menjadi anestrus atau malah menjadi nymphomania (kawin terus).  Penanganan yang dilakukan yaitu dengan:
·          Sista ovaria : prostaglandin (jika hewan tidak bunting)  
·         Sista folikel : Suntik HCG/LH (Preynye, Nymfalon) secara intramuskuler sebanyak 200 IU.
·         Sista luteal : PGH 7,5 mg secara intra uterina atau 2,5 ml secara intramuskuler. Selain itu juga dapat diterapi dengan
·         PRID/CIDR intra uterina (12 hari). Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan birahi.
2. Subestrus dan birahi tenang
Subestrus merupakan suatu keadaan dimana gejala birahi yang berlangsung singkat/ pendek (hanya 3- 4 jam) dan disertai ovulasi (pelepasan telur). Birahi tenang merupakan suatu keadaan sapi dengan aktifitas ovarium dan adanya ovulasi namun tidak disertai dengan gejala estrus yang jelas. Penyebab kejadian ini diantaranya: rendahnya estrogen (karena defisiensi β karotin, P, Co, Kobalt dan berat badan yang rendah ). Apabila terdapat corpus luteum maka dapat diterapi dengan PGF2α (prostaglandin) dan diikuti dengan pemberian GnRH (Gonadotropin Releasing Hormon).
3. Anestrus
Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aktivitas ovaria atau  akibat aktifitas ovaria yang tidak teramati. Keadaan anestrus dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu :
·         True anestrus (anestrus normal)
Abnormalitas ini ditandai dengan tidak adanya aktivitas siklik dari ovaria, penyebabnya karena tidak cukupnya produksi gonadotropin atau karena ovaria tidak respon terhadap hormon gonadotropin. Secara perrektal pada sapi dara akan teraba kecil, rata dan halus, sedangkan kalau pada sapi tua ovaria akan teraba irreguler (tidak teratur) karena adanya korpus luteum yang regresi (melebur).
·         Anestrus karena gangguan hormon
Biasanya terjadi karena tingginya kadar progesteron (hormon kebuntingan) dalam darah atau akibat kekurangan hormon gonadotropin.
·         Anestrus karena  kekurangan nutrisi
Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan hormon gonadotropin, terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif.
·         Anestrus karena genetik
Anestrus karena faktor genetik yang sering terjadi adalah hipoplasia ovarium dan  agenesis ovaria.  Penanganan dengan  perbaikan pakan sehingga skor kondisi tubuh (SKT) meningkat, merangsang aktivitas ovaria dengan cara pemberian (eCG 3000-4500 IU; GnRH 0,5 mg; PRID/ CIDR dan estrogen).
4. Ovulasi yang tertunda
Ovulasi tertunda (delayed ovulation) merupakan suatu kondisi ovulasi yang tertunda/ tidak tepat waktu. Hal ini dapat menyebabkan perkawinan/ IB tidak tepat waktu, sehingga fertilisasi (pembuahan) tidak terjadi dan akhirnya gagal untuk bunting. Penyebab utama ovulasi tertunda adalah rendahnya kadar LH dalam darah. Gejala yang nampak pada kasus ini adalah adanya kawin berulang (repeat breeding). Terapi yang dapat dilakukan diantaranya dengan injeksi GnRH (100-250 µg gonadorelin) saat IB.

c. Kesalahan Manajemen
Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi  hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah (karena tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi). Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel, perkembangan embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa pubertas sampai beranak pertama maka kemungkinannya adalah : birahi tenang, defek ovulatory (kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio/ fetus. Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi diantaranya: protein, vitamin A, mineral/ vitamin (P, Kopper,Kobalt, Manganese, Iodine, Selenium). Selain nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat menyebabkan abortus  (keguguran), diantaranya: racun daun cemara, nitrat, ergotamin,  napthalen, khlor dan arsenik.

d.  Infeksi Organ Reproduksi
1.  Infeksi non spesifik
Yang termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya:
·         Endometritis (radang uterus)
Merupakan peradangan pada endometrium (dinding rahim). Uterus (rahim) sapi biasanya terkontaminasi dengan berbagai mikroorganisme (bakteri) selama masa puerpurium (masa nifas). Gejalanya meliputi : leleran berwarna jernih keputihan sampai purulen (kekuningan) yang berlebihan, uterus mengalami pembesaran (peningkatan ukuran). Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam uterusnya tertimbun cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilitas (pembuahan) adalah dalam jangka pendek, menurunkan kesuburan,  Calving Interval dan S/C naik, sedangkan jangka panjang menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan saluran reproduksi. Faktor predisposisi  (pendukung) terjadinya  endometritis adalah distokia,  retensi plasenta, musim, kelahiran kembar, infeksi bakteri serta penyakit metabolit.  Penanganannya dengan injeksi antibiotik, hormon (PGF2α) dan irigasi/ pemasukan antiseptik intra uterina.
·         Piometra (radang uterus bernanah)
Merupakan pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen uterus (rongga rahim) dan adanya korpus luteum persisten pada salah satu ovariumnya.  Korpus luteum mengalami persistensi mungkin karena adanya isi uterus abnormal, menyebabkan hambatan pelepasan prostaglandin dari endometrium atau menahan prostaglandin dalam lumen uterus.  Gejala yang timbul meliputi : leleran vagina purulen (kekuningan), sapi anestrus. Penanganan medisnya yaitu dengan kombinasi pemberian antibiotik dan hormon prostaglandin.
·         Vaginitis
Merupakan peradangan pada vagina, biasanya sebagai penjalaran dari metritis dan pneumovagina atau dapat disebabkan oleh tindakan penanganan masalah reproduksi yang tidak tepat seperti tarikan paksa/ fetotomi. Penyebab vaginitis diantaranya virus IBR-IPV dan penyakit – penyakit kelamin. Tanda-tanda vaginitis bervariasi, mulai dari leleran lendir keruh dan hiperemia mukosa (mukosa kemerahan) vagina sampai nekrosis mukosa (kematian jaringan mukosa) vagina disertai pengejanan terus –menerus dan septikemia. Penanganan kasus vaginitis ini ditujukan untuk menghilangkan iritasi, menghentikan pengejanan dengan anastesi epidural, koreksi operatif dari defek vulva dan urovagina serta pengobatan antibiotik sistemik.

2. Infeksi Spesifik
Infeksi yang bersifat spesifik,diantaranya :
a). Bakterial
·         Brucellosis
Penyebab brucellosis pada sapi adalah Brucella abortus sedangkan pada kambing/ domba adalah Brucella melitensis. Bersifat zoonosis dan menyebabkan demam undulan pada manusia bila mengkonsumsi susu yang tercemar B.abortus. Brucellosis dapat menular melalui eksudat (lendir) alat kelamin, selaput lendir mata, makanan dan air yang tercemar ataupun melalui IB dari semen yang terinfeksi. Gejala yang nampak biasanya sapi bunting mengalami abortus pada 6-9 bulan kebuntingan; selaput fetus yang diaborsikan terlihat oedema, hemorhagi,  nekrotik dan adanya eksudat kental serta adanya retensi plasenta, metritis dan keluar kotoran dari vagina. Penanggulangan dan pencegahan brucellosis diataranya dengan :
¾    Sanitasi dan kebersihan harus terpelihara
¾    Vaksinasi strain 19 usia 3 – 7 bulan
¾    Pemberian antiseptik dan antibiotika pada hewan yang sakit
¾    Penyingkiran r eaktor (sapi terinfeksi sebagai sumber infeksi)
¾    Sapi yang terinfeksi diisolasi/ dijual/ dipotong.
¾    Fetus dan plasenta yang digugurkan dibakar kemudian dikubur.
¾    Hewan baru dikarantina, diperiksa dan diuji.
Gambar 2. Sanitasi kandang
·         Leptospirosis
Penyebabnya yaitu Leptospira pomona, Leptospira gripothyposa, Leptospira conicola, Leptospira hardjo. Cara penularannya melalui kulit terbuka/ selaput lendir (mulut, pharynx, hidung, mata) karena kontak dengan makanan dan minuman yang tercemar. Gejala yang nampak diantaranya : anoreksia (tidak mau makan), produksi susu turun, abortus pada pertengahan kebuntingan dan biasanya terjadi retensi plasenta, metritis dan infertilitas.
Gambar 3. Vaksinasi brucellosis pada sapi
Pengendalian kejadian leptospirosis meliputi sanitasi yang baik, isolasi hewan yang sakit serta hindari pakan dan minuman dari pencemaran, vaksinasi dengan serotipe (jenis) leptospira yang ada di daerah tersebut. Pengobatan dengan antibiotika dosis tinggi, 3 juta IU penicillin dan 5 gr streptomycin (2x sehari).

·         Vibriosis
Penyebabnya adalah Vibrio fetus veneralis atau Campylobacter foetus  veneralis. Dapat menular melalui perkawinan dengan pejantan tercemar. Gejala yang timbul diataranya : endometritis dan kadang – kadang salpingitis dengan leleran  mukopurulen, siklus estrus diperpanjang ± 32 hari, kematian embrio, abortus pada trisemester 2 kebuntingan dan terjadinya infertilitas karena kematian embrio dini.  Pengendaliannya yaitu dengan cara IB dengan semen sehat, istirahat kelamin selama 3 bulan pada hewan yang terinfeksi, vaksinasi dengan bakterin 30-90 hari sebelum dikawinkan atau setiap tahun. Pengobatan dengan infusi (pemasukan) antibiotika spektrum luas secara intra uterin, injeksi pejantan dengan dihydrostreptomisin dosis 22 mg/kg BB secara subkutan (di bawah kulit).
·         Tuberkulosis
Penyebabnya adalah Mycobacterium bovis. Dapat menular melalui ekskresi, sputum (riak), feses, susu, urin, semen, traktus genitalis (saluran kelamin), pernafasan, ingesti dan perkawinan dengan hewan yang sakit. Gejala yang nampak diataranya : abortus,  retensi plasenta, lesi uterus bilateral, salpingitis dan adhesi (perlekatan) antara uterus. Penanganan dan pencegahan diantaranya dengan sanitasi kandang dan lingkungan, pengobatan dengan antibiotika, isolasi hewan yang terinfeksi dan vaksinasi.
·         Viral
¾    IBR- IPV, Penyebabnya adalah virus herpes dengan tingkat kematian prenatal dan neonatal cukup tinggi. Penularan dapat melalui air, pakan, kontak langsung maupun tidak langsung. Gejala yang nampak dalam berbagai bentuk, yaitu :
¾    Respiratorik bagian atas (demam, anorexia,  depresi, leleran hidung, nodula/ bungkul-bungkul pada hidung, pharynx, trachea, batuk, penurunan produksi susu).
¾    Konjungtival (hiperlakrimasi dengan eksudat mukopurulen, konjungtiva merah dan bengkak, adanya pustula pada konjungtiva dan ulcer nekrotik.
¾    Digestif neonatal ( septikemia, lesi pada mulut, larynx dan pharynx).
¾    Meningoencepalitis (kelesuan, inkoordinasi, tremor, mati dalam 3-4 hari).
¾    Vulvovagina (septikemia,  pustula dan ulcer pada vagina dan vulva disertai leleran purulen).
¾    Preputial (pustula dan ulcer pada penis dan preputium).
¾    Abortus dan prenatal (abortus pada trisemester kebuntingan).
¾    Intrauterina (endometritis nekrotik, uterus tegang dan edematus). Pengendalian dan pengobatan: Pemberian antibiotik, karantina hewan dan istirahat kelamin selama 3-4 minggu, vaksinasi kombinasi (IBR, IPV dan BVD-MD).

·         BVD-MD
Virus BVD-MD menyerang sapi dengan gejala: demam tinggi, depresi, anorexia, diare, lesi pada mukosa mulut dan sistem pencernaan, abortus pada 2-9 bulan kebuntingan serta terjadinya kawin berulang. Pengobatan dengan pemberian antibiotika, pencegahan dengan vaksinasi umur 9-10 bulan. Sanitasi dan desinfeksi kandang dan lingkungan penting untuk diperhatikan.
·         EBA (Epizootik Bovine Abortion)
Penyebabnya Chlamydia atau Megawanella. Gejala yang nampak :abortus pada 4-9 bulan kebuntingan, stillbirth (lahir kemudian mati), jika fetus lahir maka lemah, retensi plasenta.  Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika. Sedangkan pengendaliannya dapat dilakukan dengan isolasi/ karantina hewan yang sakit, vaksinasi, sanitasi dan desinfeksi kandang.
b)  Protozoa
·         Trikomoniasis
Penyebabnya  Trichomonas fetus, merupakan penyakit kelamin menular pada sapi yang ditandai dengan penurunan kesuburan (S/C tinggi), abortus dini (4 bulan kebuntingan/trisemester pertama kebuntingan). Penularan dengan kawin alam maupun dengan IB.  Pengendaliannya dengan:
¾    IB dengan pejantan sehat
¾    Istirahat kelamin
¾    Pemberian antibiotik intra uterin pada betina terinfeksi.
¾    Pemberian estrogen/ PGF2α
¾    Pejantan kronis diberi bovoflavin/ metronidazole atau dieliminasi.

·         Toxoplasmosis
Penyebabnya  Toxoplasma gondii, bersifat zoonosis sehingga dapat menyerang manusia. Gejala yang nampak diataranya: demam, gangguan nafas dan syaraf, abortus, prematur maupun lahir lemah. Penularan melalui pakan/ minum yang tercemar dengan ookista. Pengobatan dengan antibiotika, kombinasi antara preparat sulfa (sulfadiazin) dan pyrimethamine. Pencegahan dengan menjaga sanitasi dan desinfeksi kandang serta lingkungannya.

c). Jamur
Penyebab utama abortus adalah Aspergillus fumigatus. Selain itu juga bisa disebabkan oleh Mucorales. Terdapat dua jalur utama penularan,
1) Melalui inhalasi, masuk paru dan mengikuti aliran darah sampai ke plasenta dan menyebabkan abortus.
2) Melalui ingesti, menyebabkan radang pada rumen, mengikuti aliran darah menuju plasenta dan menimbulkan keradangan sehingga  terjadilah abortus. Gejala yang nampak diantaranya : abortus pada 5-7 bulan kebuntingan, fetus mengalami autolisis/ lahir lemah, membran fetus (bengkak, nekrotik, lesi plasentoma, kotiledon dan karuncula bengkak, oedem dan nekrotik). Penanganan yang dapat  dilakukan yaitu dengan menggunakan preparat antijamur dan perbaikan manajemen secara keseluruhan meliputi perbaikan pakan dan manajemen kesehatan yang baik meliputi sapi, kandang dan lingkungannya. Selain gangguan reproduksi yang disebabkan oleh keempat faktor tersebut, berikut kondisi patologis yang berhubungan dengan masalah reproduksi:
d) Prolaps Vagina Cervik (dobolen)
Merupakan pembalikan uterus, vagina dan servik, menggantung keluar melalui vulva. Penyebabnya adalah hewan selalu dikandangkan, tingginya estrogen, tekanan intra abdominal saat berbaring maupun genetik. Pada keadaan prolaps partial, organ masuk ke saluran reproduksi seperti semula saat berdiri namun bila terjadi secara total maka organ akan tetap menggantung keluar meskipun dalam keadaan berdiri (Gambar 4). Penanggulangan secara teknis yaitu dengan ditempatkan di kandang dengan kemiringan 5 –15 cm lebih tinggi di bagian belakang. Secara medis dapat dilakukan dengan reposisi ke posisi semula,  irigasi (pemasukan dilanjutkan dengan pengeluaran) antiseptik (povidon iodine) dan injeksi dengan antibiotika spektrum luas (oxytetracycline).
Gambar 4. Prolapsus vagina induk sapi
e)  Distokia
Merupakan suatu kondisi stadium pertama kelahiran (dilatasi cervik) dan kedua (pengeluaran fetus) lebih lama dan menjadi sulit dan tidak mungkin lagi bagi induk untuk mengeluarkan fetus. Sebab –sebab distokia diantaranya herediter, gizi, tatalaksana, infeksi, traumatik dan berbagai sebab lain.  
¾   
Gambar 5. Berbagai Macam Distokia (Toelihere, 1987)
Penanganan yang dapat dilakukan diantaranya:
¾    Mutasi, mengembalikan presentasi, posisi dan postur fetus agar normal dengan cara di dorong (ekspulsi), diputar (rotasi) dan ditarik (retraksi).
¾    Penarikan paksa, apabila uterus lemah dan janin tidak ikut menstimulir perejanan.
¾    Pemotongan janin (Fetotomi), apabila presentasi, posisi dan postur janin yang abnormal tidak bisa diatasi dengan mutasi/ penarikan paksa dan keselamatan induk yang diutamakan.
¾    Operasi Secar ( Sectio Caesaria), merupakan alternatif terakhir apabila semua cara tidak berhasil. Operasi ini dilakukan dengan pembedahan perut (laparotomy) dengan alat dan kondisi yang steril.

f)    Retensi Plasenta
Merupakan suatu kondisi selaput fetus menetap lebih lama dari 8 –12 jam di dalam uterus setelah kelahiran. Pada dasarnya retensi plasenta adalah kegagalan pelepasan plasenta anak (vili kotiledon) dan plasenta induk (krypta caruncula). Penyebabnya adalah infeksi (yang menyebabkan uterus lemah untuk berkontraksi), pakan (kekurangan karotin, vitamin A) dan kurangnya exercise  (sapi diumbar) sehingga otot uterus tidak kuat untuk bekontraksi. vitamin A) dan kurangnya exercise  (sapi diumbar) sehingga otot uterus tidak kuat untuk bekontraksi.
Gambar 6. Penanganan distokia dengan tarik paksa
Penanganan yang dapat dilakukan dengan pelepasan selaput fetus secara manual, pemberian preparat antibiotika spektrum luas (oxytetracyclin, Chlortetracyclin atau Tetracyclin). Pengobatan secara tradisional dapat dilakukan dengan pemberian daun waru dan bambu dengan cara diberikan langsung lewat pakan (Affandhy, 2001).
Gambar 7. Retensio plasenta pada sapi induk
g)    Torsi Uterus (Kandung peranakan melintir)
Merupakan perputaran uterus pada porosnya, biasanya disebabkan oleh : gerakan sapi yang mendadak saat berbaring/ berdiri, kekurangan cairan fetus, terjatuh dan selalu dikandangkan, tonus  uterus (kekuatan rahim) menurun, gerakan fetus yang berlebihan dan karena struktur anatomi (sebagai faktor predisposisi/  pendukung). Gejala yang nampak adalah hewan terlihat tidak tenang, menendang-nendang perut, mengejan, pulsus dan frekuensi nafas meningkat, terjadi obstruksi suplai darah ke uterus yang berujung  pada kematian fetus. Penanganan teknis yang bisa dilakukan diantaranya dengan penggulingan dengan atau tanpa fiksasi secara cepat  ke arah yang berlawanan dengan arah torsi atau dengan operasi seksio sesaria.
h)   Maserasi Fetus (janin membubur)
Merupakan suatu kondisi fetus terendam sekian lama dalam cairan amnion dan adanya infeksi bakteri maka tubuh fetus menjadi hancur seperti bubur dan keluar lewat vulva dan yang tertinggal di dalam uterus hanya tulang – tulang fetus. Penyebab utamanya adalah bakteri Trichomonas fetus dan juga dapat disebabkan oleh jamur. Gejala yang timbul diantaranya : leleran nanah dari vulva yang berbau busuk, hewan selalu mengejan, suhu tubuh naik (kejadian akut), nafas frekuen (terengah-engah), anorexia,  penurunan produksi susu dan secara perrektal teraba adanya tulang, cairan dan penebalan uterus. Penanganan yang dapat dilakukan dengan mengeluarkan tulang fetus (sulit dan mahal), pengeluaran nanah dengan hormon PGF2α/ estrogen atau dengan pertimbangan ekonomis hewan dijual/ dipotong. 
i)  Mummifikasi fetus (janin mengeras)
Merupakan suatu kondisi fetus dalam uterus mati tanpa disertai pencemaran mikroorganisme, terjadi penyerapan oleh uterus sehingga fetus menjadi kering dan keras. Mummifikasi fetus dapat disebabkan oleh pelilitan tali pusat, penyempitan tali pusat,  torsi uteri maupun karena kelainan genetik. Gejala yang dapat diidentifikasi adalah adanya fetus yang mengeras/ membatu jika diraba secara perrektal, sapi anestrus, mengejan terus – menerus, sulit defekasi dan anorexia. Terapi yang dapat dilakukan yaitu dengan injeksi stilbestrol secara intramuscular dengan dosis 50-80 mg atau dengan injeksi PGF2α.
j)  Hernia Uterina
Merupakan suatu keadaan pada induk sapi yang sedang bunting, dengan uterus dan atau bersama fetus masuk ke dalam rongga hernia. Penyebabnya adalah sobeknya lapisan peritoneum dan otot abdomen karena trauma, atau bisa juga disebabkan karena fetus besar/ kembar. Gejala yang tampak berupa pembengkakan di bawah perut, semakin lama semakin besar dan apabila dipalpasi teraba ada fetus/ gerakan fetus. Penanganan yang bisa  dilakukan:
¾    Apabila kelahiran masih lama maka bisa diatasi dengan penahanan hernia dengan menggunakan papan dan kain yang diikatkan pada punggung sapi.
¾    Apabila sudah mendekati kelahiran, cara yang terbaik adalah dengan operasi pembedahan perut (laparotomi).
¾ 

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Berdasarkan isi dan pembahasan dari beberapa sumber, maka kami menyimpulkan ahwa:
1.      Gangguan reproduksi pada sapi potong disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah cacat anatomi saluran reproduksi (defek kongenital), gangguan fungsional, kesalahaan manajemen dan infeksi organ reproduksi.
2.      Abnormalitas yang berupa cacat anatomi saluran reproduksi ini dibedakan menjadi dua yaitu cacat kongenital (bawaan) dan cacat perolehan. Cacat kongenital seperti Hipoplasia ovaria (indung telur mengecil), Agenesis ovaria (indung telur tidak terbentuk), sedangkan Cacat perolehan yang terjadi pada indung telur, diantaranya: Ovarian Hemorrhagie (perdarahan pada indung telur) dan Oophoritis (radang pada indung telur).
3.      Gangguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Contohnya Sista ovarium (ovaria, folikuler dan luteal), Subestrus dan birahi tenang, anestrus, dan Ovulasi yang tertunda
4.      Faktor  manajemen  sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktifitasnya rendah.
5.       Infeksi organ reproduksi  terdiri dari infeksi non spesifik  dan infeksi spesifik. Yang termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya: Endometritis (radang uterus), Piometra (radang uterus bernanah),  dan Vaginitis. Sedangkan yang termasuk infeksi spesifik adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur




share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by IQBALZFREAK, Published at Rabu, Maret 19, 2014 and have